kata kata rabiah al adawiyah
KisahRabiah Al Adawiyah dalam versi ini, memberikan penjelasan sistem adat dalam budaya Bugis yang dikenal dengan istilah 'Pangaderreng'. Dengan kata lain, Cinta Ilahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melalui kata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapat untuk mendefinisikan Cinta Ilahi
Makna: dalamnya cinta Rabiah Al-Adawiyah kepada sang pencipta sudah tidak bisa lagi digambarkan dengan kata-kata. Begitu besar cintanya tersebut , sehingga hanya dia dan Sang Pencipta -lah yang tahu.
Rabiahadalah salah satu tokoh sufi wanita pada zamannya,beliau dilahirkan di kota Basrah tahun 95 hijriyah,dan putri ke 4 dari seorang lelaki bernama, Ismail Adawiyah.Beliau hidup dalam kemiskinan dan lingkungan yang serba kurang bahkan ketika Rabiah lahir lampu untuk menerangi saat kelahirannyapun tidak ada. Rabiah yang lahir dalam keadaan miskin tapi kaya akan iman dan peribadatan kepada Allah.
Rabiah Al-Adawiyah adalah contoh wanita muslimah yang begitu mencintai Allah. Dari dirinya kita dapat mengambil sisi teladan. Dari Rabi'ah pula kita dapat belajar bahwa sehebat-hebatnya manusia, tetap saja kehebatan itu ada karena Allah yang memberikan kehebatan itu, dan Allah adalah Yang Mahahebat. Pilih Reaksi Kamu Senang 0% Ngakak! 0% Wow! 0%
CINTARABIAH AL-ADAWIYAH Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, "Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata "akan atau "andaikata" sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu."
Kein Mann Will Mich Näher Kennenlernen. Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan. Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah namanya Cinta. Ada 2 titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air mata tu menyapa air mata yg satu lagi,” Saya air mata seorang gadis yang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?”. Jawab titis air mata kedua tu,” Saya air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.” Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata aku turut bahagia untukmu. Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi kita. Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya. Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutup matamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama. Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan. Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia , lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya . Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas kurniaan itu. Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat -Hamka Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi. Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping. Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut. Tuhan ciptakan 100 bahagian kasih sayang. 99 disimpan disisinya dan hanya 1 bahagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bahagian itulah, makhluk saling berkasih sayang sehingga kuda mengangkat kakinya kerana takut anaknya terpijak. Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehinggalah kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna sesalan karena perginya tanpa berpatah lagi. Jangan mencintai seseorang seperti bunga, kerana bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, kerana sungai mengalir selamanya. Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta ! Permulaan cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan di dalam dirinya. Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit,bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus,tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur,di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.~ Hamka Kata-kata cinta yang lahir hanya sekadar di bibir dan bukannya di hati mampu melumatkan seluruh jiwa raga, manakala kata-kata cinta yang lahir dari hati yang ikhlas mampu untuk mengubati segala luka di hati orang yang mendengarnya. Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut ke mulut tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya. Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak. Bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka. Bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu. Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh. Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.*
Jakarta, Muslim Obsession – Siapa yang tidak kenal dengan sosok Rabi’ah al-Adawiyah, kesufiannya tidak perlu diragukan lagi. Dia adalah sedikit dari ulama sufi perempuan yang sangat disegani dalam sejarah peradaban Islam. Pemikiran dan laku spiritualnya terus dikaji hingga hari ini. Berbagai macam kisah hidupnya pun sudah banyak dikupas dan ditulis dalam banyak buku. Bagi kalangan santri kisah yang paling populer dari Rabi’ah adalah ketika dia membawa obor dan ember berisi air malam-malam. Dikisahkan bahwa suatu malam Rabi’ah al-Adawiyah tengah berjalan di Kota Baghdad sambil menenteng air dan memegangi obor di tangan kirinya. Seseorang pun bertanya kepada beliau hendak dikemanakan air dan obor tersebut? Rabi’ah al-Adawiyah pun menjawab “Aku hendak membakar surga dengan obor dan memadamkan neraka dengan air ini. Agar orang tidak ada lagi mengharapkan surga dan takut siksa neraka dalam beribadah kepada Allah.” Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi yang mengusung mazhab cinta. Cintanya kepada Allah begitu dalam dan kuat. Sehingga ia tidak mampu mencintai yang lainnya karena cintanya hanya untuk Allah. Karena saking cintanya kepada Allah, Rabi’ah pernah berujar bahwa ia tidak mendambakan surga dan tidak takut kalau dimasukkan neraka. Itulah Rabi’ah karena cintanya itu, ia diangkat menjadi wali dan Allah SWT berikan kepadanya karomah, sebagai tanda bahwa Dia adalah Wali Allah. Berikut adalah sejumlah karomah yang dimiliki oleh Rabi’ah al-Adawiyah sebagaimana yang tercantum dalam buku Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan karya Margaret Smith. 1. Kisahnya dengan Binatang Buas Ketika Rabi’ah sedang jalan-jalan di sebuah pegununang, ada banyak binatang buas yang mendekatinya. Anehnya, binatang-binatang tersebut tidak menyerang Rabi’ah dan sangat jinak kepadanya. Mereka bermain bersama. Tiba-tiba, Hasan al-Basri muncul dan mendekati Rabi’ah. Seketika binatang-binatang buas tersebut menampakkan wajah buasnya dan pergi meninggalkan Hasan al-Basri. 2. Unta Mati Hidup Lagi Suatu hari Rabi’ah melakukan perjalanan haji ke baitullah Makkah dengan menaiki unta. Di tengah jalan, unta yang dinaiki tersebut mati. Langsung saja, Rabi’ah berdoa kepada Allah. Tidak lama setelah itu, untanya hidup kembali. Rabi’ah pun melanjutkan perjalanan hingga sampai ke baitullah dan pulang dengan menaiki unta yang sama, unta yang pernah mati itu. 3. Jarinya memancar cahaya Suatu malam ada dua orang teman Rabi’ah yang datang kerumahnya. Mereka hendak melakukan diskusi bersama dengan Rabi’ah. Na’asnya, rumah Rabi’ah tidak memiliki lampu penerang. Lalu Rabi’ah meniup ujung jari-jarinya hingga kemudian mengeluarkan cahaya yang terang dan menerangi seluruh rumahnya sepanjang malam. Dengan demikian, mereka bisa berdiskusi hingga pagi hari. 4. Pencuri yang Kebingungan Pada suatu malam rumah Rabi’ah didatangi oleh tamu yang tidak diundang. Tamu tersebut hendak mencuri pakaian Rabi’ah. Ketika sudah mengangkut semua baju Rabi’ah dan hendak kabur, pencuri tersebut bingung karena tidak menemukan pintu keluar. Namun, ketika sang pencuri meletakkan barang curiannya tersebut, ia menemukan ada pintu keluar. Sang pencuri mengulang perbuatannya itu –mengambil dan meletakkan barang Rab’iah- sebanyak tujuh kali. Hingga akhirnya sang pencuri mendengar ada hatif suara tanpa rupa yang mengatakan; Wahai manusia, jangan engkau persulit dirimu sendiri. Perempuan ini telah mempercayakan dirinya kepada Kami selama bertahun-tahun. Setan pun tidak berani mendekatinya. Mendengan suara itu, pencuri tersebut lari terbirit-birit tanpa membawa secuil barangpun dari rumah Rabi’ah. Konon kabarnya pencuri itu kemudian kembali lagi ke rumah Rabi’ah untuk meminta maaf, hingga akhirnya ia berguru dan menjadi muridnya. 5. Shalat di udara Kelima, suatu hari Hasan al-Basri mengajak Rabi’ah al-Adawiyah untuk shalat di atas air. Rabi’ah merespons ajakan Hasan itu dengan melemparkan sajadahnya dan terbang di atasnya. Ia mengajak Hasan untuk naik di atas bersamanya keliling kota agar orang banyak yang tahu. Tapi dari situ Rabi’ah memberikan pelajaran kepada Hasan Basri. Apa hanya sebatas ini yang dia minta, kalau hanya sebatas terbang, burung, lalat juga bisa terbang. Tidak ada istimewanya, dan tidak ada yang perlu dibanggakan dari terbang di atas angin, karena yang lebih istimewa adalah bagaimana bisa menjaga cinta hanya untuk Allah. Demikian di antara karomah Rabi’ah, semoga bisa menjadi hikmah dan pelajaran bagi kita agar bisa semakin dekat dengan Allah. Albar
Kata Kata Rabiah Al Adawiyah Kumpulan Kata Kata Mutiara Hikmah Rabiah Al AdawiyahYa Allah, jika aku menyembahMu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan jika aku menyembahMu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi, jika aku menyembahMu demi Engkau semata, Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu Yang abadi diriku ke dalam lautanKeikhlasan mencintai-MuHingga tak ada sesuatu yang menyibukkankuSelain berdzikir kepada-Mu1. Kata Kata Kata Kata Bijak Sufi Tentang Allah Kata Kata Bijak Sufi Tentang Kata Kata Bijak Sufi Tentang Kata Kata Bijak Sufi Tentang Hati2. Kumpulan Nasehat Ulama Kata Kata Nasehat Syekh Abdul Qodir Kata Kata Bijak Imam Hasan Al Kata Kata Sufi Ibnu Kata Kata Rabiah Al Kata Kata Syeikh Ibnu Atha’illah Al Kata Kata Syekh Rohimuddin Al-Bantani
Rābiʾah al-AdawiyahBORN c. 713 • Basra, IraqDIED c. 801 • Basra, IraqIraqi religious leader; poet; mysticRābiʾah al-Adawiyah was an eighth-century Muslim mystic, or a person concerned with religious mysteries. She is considered a saint of Islam, a virtuous and holy woman who was also able to perform miracles. Rābiʾah, a founding member of the branch of Islam called Sufism, established the principle of mystical love, or the pure love of Allah, as a path to knowing Allah. She rejected the notion that punishment or heavenly reward motivated religious devotion. Rābiʾah was also one of the most prominent early Sufi poets, leaving behind many verses and prayers that became part of the literature and oral tradition of Life of povertyRābiʾah was born about in 713 ce to the Al-Atik tribe of Qays clan and died, by most accounts, in 801. Her name means "fourth daughter" in Arabic. Other variations of her name include Rābiʾah al-Qaysiyya and Rābiʾah al Basri Rābiʾah of Basra, after her hometown."If I adore You out of fear of Hell, burn me in Hell! / If I adore You out of desire for Paradise, / Lock me out of Paradise. / But if I adore You for Yourself alone, / Do not deny to me Your eternal beauty."Little was written about Rābiʾah during her lifetime. Much of the legend in existence comes from the thirteenth century and the writings of Sufi mystic and poet Farid al-Din Attar. In his Tadhkirat al-Awliya or Biographies of the Saints, he related the words of Rābiʾah, who left no written documents herself. Attar says that Rābiʾah was "on fire with love and longing" and that she was considered "an unquestioned authority to her contemporaries."Most sources note that Rābiʾpah was born into a poor household. Indeed, the family was so poor that on the night of Rābiʾah's birth, her father was sent out to beg for oil for the lamps. He had made a promise, however, to ask for assistance from no one but Allah and came back without any oil. That night, the Prophet Muhammad c. 570–632; see entry came to Rābiʾah's father in his sleep and told him not to worry, for his newborn daughter was destined to be a great Muslim saint. The prophet also told him that the local emir high official had failed to pray as a good Muslim should and that Rābiʾah's father should demand money from the emir as punishment. The money was supposedly paid, but it seems that this was the last bit of good luck the family had. Soon after, Rābiʾah's parents both died, famine struck Basra, her three older sisters moved away, and Rābiʾah was left on her time later Rābiʾah was sold into slavery as a house servant, although accounts vary as to how this occurred. Some sources claim she was traveling in a caravan when it was attacked by robbers and taken prisoner. Most others report that she was walking down the streets of Basra one day and was kidnapped. After Rābiʾah finished her daily chores, she would turn to prayers and meditation on Allah. Her religious calling was confirmed one day when she fell in the street and dislocated her wrist. She was trying to avoid allowing a stranger to see her without her veil, which was forbidden for pure Muslim women. Praying to Allah at that moment, she was answered with a voice that said on the day of reckoning she would be among the select to sit near Allah in this experience Rābiʾah became increasingly religious. She practiced asceticism, or self-denial, living in a very simple manner as a means of gaining higher spiritual powers. Some ascetics wore clothing that scratched their bodies in order to remind them of their duty to God. Some also fasted or ate very little. Rābiʾah, according to legend, fasted during the day while working and then prayed much of the night. On one such night, her master happened upon her in the midst of prayer. He saw her bathed in a golden light called the sakina, something like a halo that marks a Christian saint. The next day he gave Rābiʾah her freedom, and she left to meditate in the of meditationRābiʾah soon established herself in the desert not far from Basra, where she lived a quiet life of prayer. She did not feel it necessary to have a teacher or other holy person direct her in her quest for Allah. Rather, she went directly to Allah for such teachings and inspiration. Rābiʾah found no comfort in organized religion with its officials and rituals. She once said of the Muslim House of God, the famed Kaʾaba, in Mecca, that she had no use for a house. It was the master of the house who interested belief in a direct knowledge of Allah placed her in the early ranks of mystical Sufis. From the time of the founding of the Islamic religion, there were believers who wanted a deeper experience than that provided by the simple adherence to the five pillars of Islam professing faith, saying prayers five times daily, giving support to the poor, fasting during Ramadan, and making pilgrimage to Mecca. These people, like Rābiʾah, wanted direct communication with Allah. They attempted to establish it through continual prayer, reading of the Qurʾan, and focusing on Allah. They fasted, did not engage in sex, and repented for their makes a SufiThe term Sufi most likely comes from the Arabic word for the coarse wool many of these ascetics used for their robes. It was first seen in the literature of Islam during the eighth century, during Rābiʾah's lifetime. As Sufism evolved, two main concepts came to dominate that branch of Islam tawakkul, or a total reliance on God, and dhikr, a continual remembrance of, or focusing on, Allah. Sufism combined elements of Christianity and Hinduism with its own distinctive Islamic Sufism had a harsh, gloomy tone. Rābiʾah, however, brought joy to the obedience to and love of Allah. Rābiʾah looked to Allah not only as a master but also as a friend and companion. She was the first Sufi to preach that love and only love was the key to the mystic path. She also scorned the reward and punishment system of heaven and hell. One of her poems, translated by Charles Upton and published in Doorkeeper of the Heart Versions of Rābiʾah, states, "I love God I have no time left / In which to hate the devil."Rābiʾah was also famous for a legend in which she was reportedly seen carrying a flaming torch in one hand and a bucket of water in the other. She explained in a poem published in Doorkeeper of the Heart "With these things I am going to set fire to heaven / And put out the flames of hell / So that voyagers to God can rip the veils / And see the real goal." Rābiʾah meant that a person should not worship Allah out of fear of hell or in hopes of heaven. One should worship because one loved Allah. The emotions of fear and hope were like veils that kept the true vision of Allah al-BasriRābiʾah was a resident of the city of Basra, located in the far southeast of modern-day Iraq, near the Persian Gulf. Founded in 636, the city was an important military and trading site. Also called Bassorah, the city was mentioned in Thousand and One Nights as the place where Sinbad the Sailor began his voyages. The city was called the "Venice of the Middle East," because of the series of canals that once flowed through the city at high tide. Basra was also a center for the cultivation of dates and date palm Rābiʾah's lifetime, Basra was only about a century old, but was already famous in Islam as a home to many well-known Sufis. One of the most famous of these was Hasan al-Basri 642–728. Hasan was born one year after the death of the Prophet Muhammad and moved to Basra when it was still a primitive military encampment. As a young man this famous mystic scholar served as a soldier of Islam from 670 to 673 and participated in the conquest of eastern his return to Basra, Hasan quickly became a well-respected religious figure, preaching the importance of a permanent state of anxiety in the true believer. He claimed that such anxiousness was caused not by the certain knowledge of death, but by an uncertainty about what awaited a person after death. He also preached religious self-examination, which he said led to an avoidance of doing evil and an emphasis on doing good. Most importantly, Hasan believed that humans were responsible for their own actions and could not, therefore, blame such actions on the will of appeared in many of the legends dealing with Rābiʾah. Her belief in the importance of love was the opposite of Hasan's emphasis on fear and hope as twin motivators for the faithful Muslim. According to one legend, Hasan asks Rābiʾah to marry him. When he is unable to answer a series of questions she puts to him, she declines the offer. Another legend tells of how Hasan, seeing Rābiʾah near a lake, decides to display his miraculous powers. He throws a prayer rug onto the water and invites her to pray with him on it. Unimpressed, she responds, as quoted by Farid al-Din Attar, "Hasan, when you are showing off your spiritual goods in the worldly market, it should be things which your fellow men cannot display." Then she throws her prayer rug into the air and flies up to sit upon it, inviting him to join her. The old man simply looks at her sadly. She feels badly for him then, and says, "Hasan, what you did fishes can do, and what I did flies can do. But the real business is outside these tricks. One must apply oneself to the real business." There is little chance these tales are true, however, as Raābiʾah was only eleven at the time of the death of the older Sufi master and had not yet become an teachingSuch wisdom won Rābiʾah followers, though she never developed a system of teaching. Later thinkers, however, found a logical organization in Rābiʾah's way of seeking Allah. This path began with tawba, or repentance, asking forgiveness of one's sins and turning from wrong actions to right ones. However, such repentance deals only with individual actions each sin is repented after being committed. Instead, Rābiʾah focused on a more general, divine tawba, seeing repentance as a gift from God, whom she called the Healer of Souls. "If I seek repentance myself," Rābiʾah taught, "I shall have need of repentance again."In order to achieve real "tawba," two qualities were needed sabr, or patience, and shukr, or gratitude. Patience, in turn, required an end to complaint and desire. Rābiʾah's prayers were free of desires and expressed a simple, grateful acceptance of whatever happened in put little emphasis on rajaʾ, or hope, and khawf, fear, as motivating factors on the path to spiritual enlightenment. Instead she focused on mahabba, or love, the ascetic principle offaqr, or poverty, and zuhd, the giving up of anything that distracted one from the path to Allah. She believed that all of this led to tawhid, or the joining of the personal self with Rābiʾah maintained a solitary existence throughout her life, she did have conversations with some of the other Muslim thinkers of the day and advised people who came to visit her. As an old woman, she possessed only a cracked jug, a mat made from stiff plants, and a brick that served as her pillow. She slept little at night, instead praying and meditating, and became angry with herself if she fell asleep for a short time and thus lost precious minutes or hours of devotion to Allah. In one tale, Rābiʾah refused to go out and admire nature on a fine spring day, saying that she would rather contemplate the beauty of Allah in the darkness of her dwelling. She never married, though it was reported she had many miraculousDespite her disregard for the rituals of Islam, Rābiʾah went on at least one pilgrimage to Mecca now in Saudi Arabia in order to visit the House of God, the Kaʾaba, the most sacred place in Islam. It also lies in the direction toward which Muslims face to pray each day. According to legend, while Rābiʾah was on her way to Mecca and traveling in the company of other pilgrims, her donkey died and she was left without transportation. She told the others to continue on their way, refusing their offers of help. She said she would rely solely on Allah for assistance. One version of this tale claimed the donkey came back to life after Rābiʾah prayed for a week. Another stated that the Kaʾaba actually came to her. She was unimpressed, however, saying that she wanted the master of the house and not simply the house. Though reportedly capable of performing miracles, Rābiʾah distrusted them and believed them to be the devil's the end of her long life, Rābiʾah became recognized as a saint. Islam, like many religions, has a high opinion of such holy people. They are called awliya, which literally means "Friends of Allah." Unlike the Catholic Church, Islam has no official process for conferring sainthood, but there are certain beliefs as to which conditions lead to sainthood. To be considered, a person must have a strong faith, follow the traditions laid out by the Prophet Muhammad, possess an excellent moral character, display an ability to perform certain miracles or marvels, and, finally, be accepted by other Muslims as a she died in 801, Rābiʾah passed into legend. Many stories have been told of her great deeds and the thousand times each day she knelt to pray. Movies have been made of her life. Her name is still used by followers of Islam to praise an exceptionally religious More InformationBOOKSal-Adawiyah, Rābiʾah. Doorkeeper of the Heart Versions of Rābiʾah. Translated by Charles Upton. Putney, VT Threshold Books, Farid al-Din. Muslim Saints and Mystics Episodes from the "Tadhkirat al-Awliya" "Memorial of the Saints". Translated by A. J. Arberry Ames, IA Omphaloskepsis, 2000. Also available online at Sakkakini, Widad, and Nabil Safwat. First Among Sufis The Life and Thought of Rābiʾah al-Adawiyah, the Woman Saint of Basra. London, England Octagon Press, Annemarie. "Rābiʾah al-Adawiyah." Encyclopedia of Religion. 2nd ed. Edited by Lindsay Jones. Detroit, MI Macmillan Reference USA, Margaret. Muslim Women Mystics The Life and Work of Rābiʾah and Other Women Mystics in Islam. Oxford, England Oneworld Publishing, SITESLochtefeld, James G. "Stunningly Brief Introduction to Sufism." Sufism. accessed on May 22, 2006."Rābiʾah al Basri." Poet Seers. accessed on May 22, 2006.
loading...Ilustrasi Rabiah Al-Adawiyah Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Photo ilustrasi Theglobalvariety/deviant art Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ dan diterjemahkan ke bahasa Inggris Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics menceritakan bahwa suatu hari Rabiah Al-Adawiyah jatuh sakit. Dia ditanya apa penyebabnya.“Aku memandang Firdaus,” jawabnya, “Dan Tuhanku mendisiplinkanku.” Baca Juga Kemudian Hasan al-Basri pergi untuk menjenguknya. “Aku melihat salah satu pemuka Basra berdiri di depan pintu rumah Rabiah, dia ingin memberikan pundi emasnya dan menangis,” kata Hasan bercerita. “Aku berkata, Tuan, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, Karena wanita suci zaman ini, karena jika berkah kehadirannya hilang dari umat manusia, mereka pasti akan binasa. Aku membawa sesuatu untuk biaya perawatannya, dan aku khawatir dia tidak mau menerimanya. Apakah engkau mau mengambil dan memberikannya untuk dia?’.”Lalu Hasan masuk dan berbicara. Rabiah menatapnya dan berkata, “Dia menafkahi mereka yang menghina-Nya, dan tidak akankah Dia menafkahi mereka yang mencintai-Nya?Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Aku tidak tahu apakah harta seseorang halal atau tidak; lalu bagaimana aku bisa menerimanya? Aku pernah menjahit pakaianku yang rusak dengan cahaya dunia. Untuk sesaat hatiku terlena, hingga aku tersadar. Lalu aku merobek pakaian itu di tempat aku menjahitnya, dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepada tuan itu mendoakanku agar jangan sampai hatiku terlena.” Baca Juga Pada hari lainnya, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi pergi menjenguk Rabiah di pembaringannya.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Hasan memulai, “jika dia tidak tabah menerima ujian dari Tuhannya.”“Kata-kata ini berbau egoisme,” kata Rabiah menanggapi.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Syaqiq mencoba, “jika dia tidak bersyukur atas ujian dari Tuhannya.”“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” kata Rabiah.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Malik juga mencoba, “jika dia tidak bergembira atas ujian dari Tuhannya.”“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” ulang Rabiah.“Lalu bagaimana menurutmu?” desak mereka.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” kata Rabiah, “jika dia tidak melupakan ujian dalam merenungi Tuhannya.” Baca Juga mhy
kata kata rabiah al adawiyah